BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Mekanisme reaksi alergi
adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang
berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi
ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan,
dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang
dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel
leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung
serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi
akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa
nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan
diare.
Selain itu,
sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier
yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi
akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu,
sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum,
hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi.
Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang
dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi
histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil
akan sangat meningkat melebihi normal.
1.2
RUMUSAN MASALAH
- Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV?
- Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi?
- Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi?
- Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada juga yang menetap?
- Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika?
- Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit alergi?
- Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat?
1.3
TUJUAN PENULISAN
- Apakah perbedaan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV?
- Bagaimanakah mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I sebagai dasar reaksi alergi?
- Apakah hubungan antara nutrisi dengan alergi?
- Bagaimanakah mekanisme perjalanan alergi, mengapa bisa menghilang namun ada juga yang menetap?
- Bagaimanakah alergi ditinjau dari sudut pandang genetika?
- Bagaimana tahap penegakan diagnosis dan pemeriksaan laboratorium pada penyakit alergi?
- Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit alergi yang tepat?
1.4
MANFAAT PENULISAN
- Mahasiswa mampu menjelaskan sistem imun manusia.
- Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit yang terkait sistem imun.
- Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dan patogenesis penyakit-penyakit imunologis.
- Menjelaskan komplikasi yang timbul dari penyakit imunologis.
- Menjelaskan cara pencegahan penyakit imunologi dengan pertimbangan faktor pencetus.
- Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit imunologis.
BAB II
2.1
Pembahasan
2.1.1 HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat
non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas
humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5
macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler
yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal
yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
Hipersensitivitas (reaksi hipersensitivitas) adalah reaksi berlebihan, tidak
diinginkan (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat
fatal) yang dihasilkan oleh sistem
kekebalan normal. Berdasarkan mekanisme dan waktu yang
dibutuhkan untuk reaksi.
Reaksi
hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III
4.
Reaksi
Tipe IV
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe
|
Mekanisme
Imun
|
Gangguan
Prototipe
|
|
1
|
Tipe Anafilaksis
|
Alergen mengikat silang antibody IgE
pelepasan amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil
dan sel mast rektumen sel radang lain
|
Anafilaksis, beberapa bentuk asma
bronkial
|
2
|
Antibodi terhadap antigen jaringan
tertentu
|
IgG atau IgM
berikatan dengan antigen pada permukaan sel fagositosis sel target atau lisis sel
target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung
antibodi
|
Anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris
|
3
|
Penyakit Kompleks Imun
|
Kompleks antigen-antibodi
mengaktifkan komplemen menarik
perhatian nenutrofil menjadikan
pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dll
|
Reahsi Arthua, serum sickness,
lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut
|
4
|
Hipersensivitas Selular (Lambat)
|
Limfisit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas
yang diperantarai oleh sel T
|
Tuberkulosis, dermatitis kontak,
penolakan transplan
|
1.
Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas
akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast
atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan
reaksi tipe cepat.
a.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen
tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe TH2. Sel CD4+ ini
berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya
IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai
faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta
merekrut dan mengaktivasi eosinofil.
Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”,
individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas
tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang
pada IgE yang terikat sel dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga
terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal
sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan
vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul
dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan
menghilang setelah 60 menit.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8
jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini
ditandai dengan infiltrasi eosinofil
serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan
juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel
mukosa.
b. Etiologi
Kontak
pertama, alergen menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. Ig E
kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor
di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi
tersensitisasi.
Kontak
ulang, allergen akan berikatan dengan Ig E yang berikatan dengan antibody di
sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi
menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.
·
Mediator primer
Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting,
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi,
dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi
adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta
faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam
matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya,
triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk
menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
·
Mediator Sekunder
ü Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen
vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini
beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan
permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
ü Prostaglandin D2 adalah mediator
yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast.
Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
ü Faktor pengaktivasi trombosit
merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan
histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk
neutrofil dan eosinofil.
ü
Sitokin
yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator
yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga
merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan
sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan
kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja
|
Mediator
|
Infiltrasi
sel
|
Sitokin
(misalnya, TNF)
Leukotrien
B4
Faktor
kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor
kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
|
Vasoaktif
(vasodilatasi,meningkatkan
permeabilitas vaskular)
|
Histamin
Faktor
pengaktivasi trombosit
Leukotrien C4,
D4, E4
Protease
netral yang mengaktivasi
komplemen dan kinin
Prostaglandin
D2
|
Spasme otot polos
|
Leukotrien C4,
D4, E4
Histamin
Prostaglandin Faktor pengaktivasi trombosit |
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat
dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat
antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
c.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai
suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein atau obat
(misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal,urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila
antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti
di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
2.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Di
sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM
dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat
mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan
reaksi jenis ini. Hipersensitivitas
tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target
pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas
disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme
bergantung antibodi, yaitu:
a.
Respon yang bergantung komplemen
Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II
melalui dua mekanisme: lisis langsungdan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang
diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel
menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis
melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan
fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel
darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,
meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat
menyebabkanfagos itosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang
diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
ü Reaksi transfusi, sel darah merah
dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan
antigen darah donor.
ü Eritroblastosis fetalis karena
inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah
tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah
merahnya sendiri.
ü Anemia hemolitik autoimun,
agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang
individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.
ü Reaksi obat, antibodi diarahkan
untuk melawan obat tertentu (metabolitnya)yang
secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah
hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
ü Pemfigus vulgaris disebabkan oleh
antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan
terlepasnya taut antarsel epidermis.
b.
Sitotoksisitas Selular Bergantung
Antibodi
Bentuk jejas yang diperantarai
antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk
bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa
difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai
macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn
secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu
(misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan
adalah IgE.
c. Disfungsi sel yang diperantarai oleh
antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan
reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas
sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap
reseptor asetilkolin dalm motor end- plate otot-otot rangka mengganggu
transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat
merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon
perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.
d. Manifestasi
Klinis
Umumnya
berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia
dan granulositopenia.
3.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan
kompleks antigen-antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan
akumulasi leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen
eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks
imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan
ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam
(kompleks imun in situ). Jejas akibat kompleks
imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya,
ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus.
Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah
sama; namun,
urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda.
a.
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks imun
sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
(1) pembentukan kompleks antigen-antibodi
dalam sirkulasi
(2) pengendapan kompleks imun di
berbagai jaringan, sehingga mengawali
(3) reaksi radang di berbagai tempat
di seluruh tubuh.
b. Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum
antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini
bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks
antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi
yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor
penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit
dan pengendapan jaringan:
ü Ukuran kompleks imun. Kompleks yang
sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang berlebihan segera
disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak
membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih
dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel
fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.
ü Status sistem fagosit mononuklear.
Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang berlebih atau
disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan
kemungkinan pengendapan jaringan. Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan
kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen,
aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga
dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat
pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,
permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat
dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya
kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama
memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat predileksi lainnya.
c.
Untuk kompleks yang meninggalkan
Sirkulasi dan mengendap di dalam
atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan
dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator
vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks
tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang.
Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran
klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening,
dan proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan
jaringannya serupa. Aktivitas
komplemen oleh kompleks imun merupakan
inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif
secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan
permeabilitas pembuluh
darah dan bersifat kemotaksis
untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun
oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah
substansi proinflamasi
tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan substansi
kemotaksis, serta
enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis, kolagen, elastin, dan
kartilago. Kerusakan
jaringan juga diperantarai oleh radikal
bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi.
Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;
kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali
pembentukan mikrotrombus
yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang
dihasilkan disebut dengan
vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di
glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat
komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena
IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang
mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen
dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa
pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan
keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif
penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.
d.
Manifestasi klinik
Manifestasi
klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria,
angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan
sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
·
kejang perut, mual
·
neuritis optic
·
glomerulonefritis
·
sindrom lupus eritematosus sistemik
·
gejala vaskulitis lain
e.
Etiologi
Penyebab reaksi hipersensitivitas
tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi
persisten
Pada
infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah
organ yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada
reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada
reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi
hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan
antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen
diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan
ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh
darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan
leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan
reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal
dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk
kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin
protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan
setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan. Kerusakan lebih
lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan
menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu,
trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang
menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan
iskemia setempat.
Kompleks
antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi
komplemen
a. Melepaskan
anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
b. Melepas
faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim
proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan
agregasi trombosit
a. Menimbulkan
mikrotrombi
b. Melepas amin
vasoaktif
3. Mengaktifkan
makrofag
Melepas IL-1 dan
produk lainnya
f.Penyakit
kompeks imun lokal (reaksi arthus )
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai
area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh vaskulitis kompleks imun
akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan menginjeksikan suatu
antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah diimunisasi (yaitu
antibodipreformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi). Karena
pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai
antigen yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini
dipresipitasi pada tempat injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta
gambaran histologist seperti yang telah dibahas untuk penyakit kompleks imun
sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa jamdan mencapai puncaknya 4
hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema pada tempat injeksi
disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.
a. Klasifikasi
Pada reaksi hipersensitivitas tipe
III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :
1.
Reaksi Arthus
Maurice
Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada
kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan
menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan
kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi
leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk
reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga
dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi
antigen. Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam
jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak
larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat
besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah
fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan
menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan
memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas
berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2.
Reaksi serum sickness
Istilah
ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi
imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan
antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk
bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan
yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada
keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa,
ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang
dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui
albuminaria sementara.
Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :
Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :
1. Demam
reuma
2. Artritis
rheumatoid
3. Infeksi
lain
4. Farmer’s
lung
4.
Tipe
IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang
berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang
berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas
selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba,
termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta
agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga
dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan
infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada
penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T
tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua
tipe dasar:
(1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+
(2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+.
Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1
menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama
makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T
CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
a.
Hipersensitivitas tipe lambat
(DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga
12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan
indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm)
dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/
tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis ,
reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti
manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin
oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;
penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin.
Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang
pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.
Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat
HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat
suatu infeksi yang berat.
b.
Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel
dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah
memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe
TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun.
Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T
naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen
yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan
proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1
inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons
DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut
adalah sebagai berikut:
Ø IL-12 merupakan suatu sitokin yang
dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12
sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang
mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin
lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ
oleh sel T dan sel NK yang poten.
Ø IFN-γ mempunyai berbagai macam efek
dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator
makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag
teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya
sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai
aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan
kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa
faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari
trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan
meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan
kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag
terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
Ø IL-2 menyebabkan proliferasi sel T
yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini
adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar
adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
Ø TNFdan limfotoksin adalah sitokin
yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
(1)
meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan
aliran darah melalui vasodilatasi local
(2)
meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuclear
(3)
induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara
bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon
DHT.
c.
Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus
DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan/ atau tidak dapat
didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif
digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas,
yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel
epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin
tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatusel raksasa(giant cells)
berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus
dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan polanya disebut
sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan
proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu
terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan
terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada
sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
DHT
merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen
intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit
tertentu, dan dapat pula terlibat dalam penolakan serta
imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat
tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+,
respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat
terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi
tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk
mengatasi mikroba yang menginvasi.
Selain
bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu
penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas
jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat.
Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif
poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul
sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman
tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi
dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam
epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak
keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi
pembentukan suatu vesikel intradermal.
d. Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+
tersensitisasi membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel
dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit
T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam
resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi
replikasi virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi.
Diyakini bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada
permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh
sel CTL: (1) pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2)
pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah
mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom.
Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal
tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk
membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya
menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease
yang disebut dengangranzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui
pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis
sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang
homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini
menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann
untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting
dalam penolakangr aft.
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat
merupakan manifestasi reaksi obat.
f. Klasifikasi
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas
tipe IV, yaitu:
1.
Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM
ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut
biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang
peka terhadap siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity
(CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia
sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya
terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan
ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya
masih belum diketahui. Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang
berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang
farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau
tersebut. Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan
allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk
konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai
peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2. Hipersensitivitas Kontak dan
dermatitis kontak
Dermatitis
kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat
kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan
reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang
peranan pada reaksi ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung
untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang
sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan
dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu,
hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka
karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil
klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T
yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon
seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel
epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan
dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3.
Reaksi Tuberkulin
Reaksi
tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak
dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas
infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam
timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang
merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen
dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi
hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI. Kelainan kulit yang khas
pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap
virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4.
Reaksi Granuloma
Menyusul respon
akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan
menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit
dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
2.1.2 Penatalaksanaan
·
Skin Test : Tes yang dilakukan untuk
mengetahui adanya alergi atau tidak, contohnya tes tusuk kulit, tes gores,
Patch test pada punggung, tujuannya merangsang reaksi tubuh dengan allergen
tertentu.
·
Skin
Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat
diagnosis yang banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE
spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit.
·
Uji gores kulit adalah uji tes yang
dilakukan dengan meneteskan sejumlah kecil alergen yang dicurigai pada kulit
yang normal dan dengan menggunakan jarum yang kecil dilakukan penggoresan
kedalam kulit. Tes ini aman dan tidak nyeri. Tes ini dapat dilakukan pada semua
golongan usia .
- Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48-72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema, dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.
·
Terapi Farmakologi
-
Epineprin dosis 0,3-0,5cc/kali/KgBB
secara SC untuk anafilatoksis sistemik
-
Deladryl dosis 1-1,5cc secara IM (akan
tetapi perlu diperhatikan, karena obat jenis ini memiliki expired dalam jangka
waktu 3 bulan)
2.1.3.
Komplikasi
·
Polip hidung
·
Otitis media
·
Sinusitis paranasal
·
Anafilaksi
·
Pruritus
·
Edema
2.1.4. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
1)
Identitas
klien
Meliputi nama, umur,jenis
kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, no register dan diagnose medis.
2)
Keluhan
utama
Biasanya terdapat kemerahan dan
bengkak pada kulit dan terasa gatal.
3)
Riwayat
penyakit sekarang
Pasien
mengeluh nyeri perut, sesak nafas, demam, bibirnya bengkak, tibul kemerahan
pada kulit, mual muntah dan terasa gatal.
4)
Riwayat
penyakit dahulu
Mengkaji
apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya
bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah
menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5)
Riwayat
penyakit keluarga
Mengkaji
apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
6)
Riwayat
psikososial
Mengkaji
orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien
terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap
stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia
saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7)
Pemeriksaan fisik
·
Keadaan umum: Tingkat kesadaran GCS
·
Tanda-tanda vital
·
Keadaan fisik
Kepala dan leher
Dada
Payudara dan ketiak
Abdomen
Genitalia
Integument
Ekstremitas
Pemeriksaan neurologist
8)
Pemeriksaan
Penunjang
·
Uji kulit :
sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
·
Darah tepi :
bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
·
IgE total dan
spesifik:
harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih
dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
·
Tes intradermal nilainya terbatas,
berbahaya.
·
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat
tidak sensitif.
·
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang
dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus,
peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop
imunofluoresen ).
·
Pemeriksaan/ tes D Xylose,
proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
2.1.5 Diagnosa
Keperawatan
1..Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2.Hipertermi
berhubungan dengan proses inflamasi
3.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
infalamasi dermal,intrademal sekunder
4.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan berlebih
5.Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
( allergen,ex: makanan)
2.1.6. Perencanaan
Dx: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
infalamasi dermal,intrademal sekunder.
Tujuan :
setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami
kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
·
Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol
dan odema
·
Tidak terdapat tanda-tanda
urtikaria,pruritus dan angioderma
·
Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1. Lihat
kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
R/: Kulit berisiko karena gangguan
sirkulasi perifer
2. Hindari
obat intramaskular
R/: Edema interstisial dan gangguan
sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit.
3. Kolaborasi
dengan tim dokter dalam pemberian obat anti gatal
R/: mengurangi
rasa gatal
4. Observasi
TTV
R/: mengetahui
tingkat keadaan klien dan perubahan yang terjadi pada klien secara dini.
BAB
III
Penutup
3.1
Kesimpulan
1.
Karakteristik Hipersensitivitas Tipe I (Immediate Hipersensivity)
·
Antibody : Ig E
·
Antigen : Exsogen
·
Histologi : Basofil dan Eosinofil
·
Pembawaan pemindahan : Antibodi
·
Waktu respon : 15-30 menit
·
Penampilan tubuh : Kemerah-merahan
·
Contoh penyakit : Asma alergi, Dermatitis
atopi dan Rhinitis alergi
2.
Karakteristik Hipersensitivitas Tipe
II (Antibody Mediated)
·
Antibody : Ig G dan Ig M
·
Antigen : Dipermukaan Sel Terlarut
·
Histologi : Antibody dan Komplemen
·
Pembawaan pemindahan : Antibodi
·
Waktu respon : beberapa menit sampai jam
·
Penampilan tubuh : Lisis dan nekrosis
·
Contoh penyakit : Anemia hemolitik,
Rhemautic fever dan Goodpasture’s
3. Karakteristik
Hipersensitivitas Tipe III (Imun Complex)
·
Antibody : Ig G dan Ig M
·
Antigen : -
·
Histologi : Komplemen dan neutrofil
·
Pembawaan pemindahan : Antibodi
·
Waktu respon : 3-8 jam
·
Penampilan tubuh : Eriterma, edem dan
nekrosis
·
Contoh penyakit : Poststreptococcal,
Glomerulonephritis dan SLE
4. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe
IV (T Cell Mediated)
·
Antibody : -
·
Antigen : Jaringan dan Organ
·
Histologi : Monosit dan Limfosit
·
Pembawaan pemindahan : T-cell
·
Waktu respon : 48-72 jam
·
Penampilan tubuh : Eriterma
·
Contoh penyakit : Rheumatotoid Arthritis
dan DM
Daftar
Pustaka
CAN YOU TELLME HOW TO DOWNLOAD FILE ON SCRIBE
BalasHapus